Rabu, 19 November 2008

Perunggasan Indonesia 2008 : “Bertahan di Tengah Badai”

Perunggasan Indonesia 2008 : “Bertahan di Tengah Badai”[1]

Oleh : Sopyan Haris [2]


Krisis Energi Dunia

Kita ingat betul, 10 tahun yang lalu perunggasan Indonesia masuk dalam 10 besar industri yang mengalami keterpurukan terparah akibat krisis moneter Indonesia. Bersama industri manufacture dan real estate, perunggasan merupakan agrobisnis yang langsung terkena dampak akibat krisis moneter. Saat itu, dua faktor utama yang menjadi penyebab adalah ketergantungan pada sumber daya import dan efek lanjut dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap US$ pada titik terendah sepanjang sejarah (Rp. 14.000/US$) menyebabkan harga bahan baku import menjadi tidak terjangkau.

Sekian tahun kita berbenah, perunggasan mulai menampakkan stabilitasnya. Tetapi tahun 2007 hingga awal tahun 2008 ini, badai itu seolah kembali menerpa dunia perunggasan kita. Bukan lagi US$ yang menjadi penyebab, tepai faktor lain yang juga merupakan penyebab bagi krisis dunia saat ini.

Berawal dari krisis energi pada negara industri maju yang menggunakan bahan bakar fosil akibat cadangan bahan bakar yang semakin menipis, menyebabkan negara penghasil minyak membatasi kuota produksinya, akibatnya harga melebihi batas harga psikologis 100 US$/barrel. Beberapa negara industri tidak tinggal diam, mereka mencoba mengalihkan pada bahan bakar yang bersumber dari bahan yang berkompetisi dengan pangan manusia.

Jagung menjadi pilihan yang murah untuk dijadikan sumber energi oleh dunia industri modern. Padahal produksi jagung dunia tidak bertambah sejalan dengan bertambahnya permintaan ini.

Naiknya harga minyak dunia dan berkompetisinya jagung untuk industri energi dan pangan secara frontal menghantam perunggasan dunia, termasuk Indonesia. Naiknya biaya transportasi perkapalan, naiknya biaya industri berbahan bakar minyak, dan melambungnya harga jagung sangat signifikan menyebabkan kenaikan harga pakan ternak.


Harga pakan ternak dan komoditasnya

Harga pakan ternak mengalami peningkatan yang cukup besar selama satu dua tahun belakangan ini. Kenaikan harga pakan ini otomatis meningkatkan biaya produksi komoditas pangan asal unggas (daging dan telur). Prosentase kenaikan biaya produksi ini belum terimbangi oleh kenaikan efisiensi performance dari peningkatan genetic. Seifisien apapun performance genetic starin komersial saat ini masih belum mampu mengimbangi peningkatan harga bahan baku pakan.

Di pihak lain, kenaikan biaya produksi bahan pangan asal unggas ini juga belum diimbangi dengan kenaikan harga jual. Sehingga anomaly prinsip industri terjadi pada dunia perunggasan kita. Harga komoditas tidak sejalan dengan biaya produksi dan profit margin yang diharapkan. Fenomena ini selalu menarik untuk menjadi bahan kajian.


Pemenuhan Gizi Asal Unggas

Angka konsumsi protein hewani asal unggas penduduk Indonesia masih tetap berada di bawah angka rata-rata konsumsi dunia bahkan juga dibawah angka rata-rata negara ASEAN. Tetapi yang menarik adalah perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat.

Bila kita melakukan survey terhadap 20 orang yang terdekat dengan kita, hampir pasti lebih 17 orang diantaranya sudah memiliki sarana komunikasi mobile. Industri telekomunikasi Indonesia mengklaim hampir separuh dari 250 juta penduduk Indonesia telah memiliki handphone. Bertambahnya volume kendaraan di jalan raya juga turut menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia saat ini tidak semiskin 50 tahun yang lalu.

Ada asumsi yang menyatakan bahwa gaya hidup modern yang terpaksalah yang menghinggapi masyarakat Indonesia saat ini. Pola konsumsi (pembelanjaan uang) bukan diarahkan pada pemenuhan kebutuhan gizi (protein) untuk kecerdasan bangsa, tetapi terpaksa harus diarahkan pada pembelian pulsa dan pelunasan atas tagihan pembayaran kendaraan bermotor.

Sehingga perunggasan Indonesia saat ini seperti dipukul dari depan oleh energi dan harga bahan baku serta ditendang dari belakang oleh pola hidup masyarakat sendiri.


Kondisi Makro Ekonomi

Secara rata-rata, beberapa parameter kondisi ekonomi makro Indonesia cukup menarik investor untuk berinvestasi di Indonesia. IHSG melebihi level 2.000 merupakan angka tertinggi yang pernah di raih Indonesia. Fluktuasi Rupiah juga cukup stabil pada kisaran 9000 sampai 9400 per US $ ini cukup menarik bagi dunia usaha. Namun sayangnya kondisi makro ekonomi tidak diimbangi dengan kondisi mikro ekonomi.

Kucuran kredit dana pihak ketiga yang tersimpan di Bank, sangat sedikit yang tersalurkan pada sektor riil produksi. Kucuran kredit lebih banyak pada kredit-kredit konsumtif (elektronik, kendaraan bermotor dan rumah). Akibatnya sebagian besar masyarakat Indonesia menjadi konsumtif dan tidak produktif.

“Life Must Go On” kata orang bijak. Ya…semua itu harus kita hadapi. Walau badai itu sekarang ada ditengah kita, kita harus bertahan. Kita yakin “Badai Pasti Berlalu”.
[1] Sebuah bahan renungan awal tahun, perjalanan perunggasan Indonesia
[2] Technical Support PT CPI Surabaya - Indonesia

Di tulis pada awal tahun 2008